Visit this website:

Gadget Unik - Jual Beli Aman

Thursday, June 28, 2012

Ada Gula, Ada Semut

Dalam kehidupan modern ini, hampir semua didasarkan pada popularitas bukan pada prestasi atau kualitas. Dari pemilihan pemimpin sampai pemilihan olahragawan idola, hampir semua didasarkan pada popularitas. Tidak heran, dalam lomba menyanyi "idol-idolan", sering pemenang bukanlah yang terbaik, melainkan yang paling populer. Ada terkadang yang menang memang peserta dengan kualitas terbaik, namun dalam karier sesungguhnya mereka justru tenggelam dan sama sekali tidak populer. Demikian juga dalam film. Film peraih piala Oscar atau piala Citra, belum pasti diminati penonton. Jika beruntung, pemimpin politik yang populer dan terpilih memang pemimpin berkualitas. Jika yang terpilih adalah peimpin yang populer namun tidak berkualitas, yah itulah resikonya alam demokrasi bebas ini.


Demikian pula dalam bidang olahraga. Olahraga terpopuler belumlah tentu olahraga yang sudah berjasa melahirkan juara dunia. Seperti di negara kita, juara dunia tinju, bulutangkis, karate, tae kwondo, angkat berat dll, pasti akan kalah populer dibanding pemain sepakbola kita yang juara tingkat Asean saja tidak. Fenomena ini sebetulnya tidak hanya di negara kita. Kita lihat Piala Eropa 2012 yang tengah berlangsung di Polandia dan Ukraina, yang kalau disamakan dengan tinju profesional, "paling-paling" setingkat kejuaraan PABA, OPBF atau kejuaraan Eropa. namun lihat saja, gaung mereka jauh melebihi kejuaraan tinju dunia kelas berat yang melibatkan petinju terbesar asal Ukraina, Klitskscho bersaudara. Bahkan, meskipun sudah menjadi legenda hidup tinju di negeri asalnya, Klitskchko bersaudara, nyaris tidak pernah (bahkan tidak pernah) bertanding di tanah kelahiran mereka di Ukraina, yang tahun lalu menjadi tempat diadakannya konvensi WBA. Apakah mereka tidak memiliki dana untuk mengadakan pertandingan tinju bagi pahlawan nasional mereka? Pembiayaan pertandingan tinju tentulah tidak sebesar pembiayaan sebuah turnamen sekelas Piala Eropa. OK, lupakan itu. Tentulah semua itu ada perhitungan bisnisnya.

Hal yang mirip juga terjadi di negeri kita. Jadi tidak usah iri, jika di setiap sore kita disuguhi pertandingan liga lokal (yang terpecah menjadi 2 liga itu). Oh ya, Sampai titik ini saya masih bisa memahami, mengapa di sepakbola terjadi dualisme kompetisi. Karena ada pepatah tua, "Ada gula ada semut". Yang tidak saya pahami, tinju Indonesia itu demikian miskin, tetapi kenapa ada 4 badan tinju yang memutar kompetisi tinju profesional secara nasional? (malah saya dengar sebuah rumor, bakal ada badan tinju ke-5 lahir. Sekali lagi sekedar rumor). Wah ini pepatahnya seharusnya berbunyi: "Ada banyak semutnya, di mana sebetulnya gulanya?"

Ah, tulisan saya kok malah merambah kemana-mana, lepas dari topik inti tulisan saya: Jangan iri dengan sepakbola yang secara faktual lebih diidolai daripada olahraga sepakbola di negara kita. Kita ini sekarang hidup di jaman idol. Yang penting populer dulu. Mari kita buktikan, tinju bisa sukses secara mandiri. Mari kita bekerjasama. Jika ada promotor, pemilik sasana, pelatih, petinju, wasit, hakim, tokoh badan tinju nasional, penonton, atau sekedar blogger semacam saya, mari kita berjuang bersama-sama memajukan tinju Indonesia secara mandiri.

Kalau di tinju, juara dunia sekelas Chris John dan Daud Yordan masih belum cukup kualitas untuk diidolai. Tuan-tuan tak berbentuk itu hanya bisa berkata, "Chris John dan Daud Yordan bukan Pacquiao. Sulit dijual di sini...". Kelak jika ada juara dunia tinju di 10 kelas berbeda yang lahir di Indonesia, tuan-tuan tersebut akan berpekik "Dia juara besar, kami tak sanggup mengucurkan dana menggelar pertandingannya di sini..."

Maaf jika tulisan ini tidak jelas juntrungannya.


Hidup Idol! Ada gula, ada Idol!

Translate this article using Babelfish Yahoo Translator

14 comments:

Miyabimania said...

pertamax

john alvin said...

ulasan yg mantep, mumet saya liat bola di tv trus..

Aryo Sulkhan said...

Setiap bangsa memiliki adat istiadat masing2, begitu pula dlm hal olahraga. Mungkin kita tdk bisa memungkiri bahwa negara USA & Mexico adlh negara tinju, atau Inggris sbg negara sepakbola, italia sbg negara balap, dll. Ya memang apes bagi kita penggemar olahraga tinju tapi hidup di Indonesia yg dikenal sbg negara sinetron. Hahahaha.

Anonymous said...

ulasan yg mantep, mumet saya liat bola di tv trus..

Max_Muscle said...

Benar Bung Aryo olah raga dlm satu negarapun memiliki adat istiadat yg dilihat dari sejarah & prestasi yang sangat panjang, sebenernya indonesia punya Badminton tetapi tetap saja jika ada spesial moment spt final piala thomas, final indonesia open, final all england dll yg melibatkan atlet indonesia, hanya sedikit sekali masyarakat yg tahu dan yg tahu ini pun blm tentu memberikan dukungan walau hanya sekedar menonton di dpn tv.
Nah bisa dibayangkan bagaimana nasib olah raga tinju yg bisa dibilang msh blm memiliki catatan sejarah & prestasi yg bisa membuat generasi muda bergetar hatinya untuk mengikuti jejak langkah para pencetak sejarah.

JP said...

Susahnya TV (swasta) tidak lagi mau memutar kompetisi tinju nasional untuk pembibitan. Padahal kita tahu, CJ, Rachman dan Daud itu petinju2 besar Indonesia yang besar di kompetisi tinju nasional yang diputar oleh tv-tv. Jika mata air sudah tertutup, bagaimana mau maju? Memang ada TVRI, tapi apakah bisa mencukupi?

lamont said...

kenapa tinju tidak populer disini, alasannya karena kebanyakan orang indonesia yang sukanya memukul tapi ga mau dipukul. contoh aja supporter bola dan pemain bola hobinya cuma keroyokan. kalau 1 lawan 1 pasti ngabur duluan.
atau lihat kalau maling dipukulinnya bareng2, atau tawuran, rusuh beraninya keroyokan dan sok jago padahal kalau kelompoknya kalah lari duluan.
bahkan di tinju juga konyol, m rachman kalah langsung penonton pada keroyokan melempari bangku ke ring, ngejar wasit.
yohanes yordan kalah dari ricky sismundo, salah satu oficialnya malah nonjok perut ricky.

Pacroid said...

bung lamont... itulah Indonesia tanah air beta. miskin prestasi tapi kaya korupsi. mo bilang apa lagi?
sy baru saja balik dari negeri tirai bambu 2 minggu muter2 dari wilayah utara ke selatan. malu rasanya lht perkembngn luar biasa disana dlm 15 tahun terakhir. puluhan jembatan lebih pnjng dari suramadu disana, tapi diindo baru jembatan kutai saja sudah ambruk. jakarta mungkin ga masuk 15 kota besar disana tapi ga ada separah jkrta macetnya. kalau soal sport, negara itu jawara olimpiade (minus tinju) kalo indo tinggal bultang aja itu juga ga yakin bisa dapet emas lagi dilondon.

Yah diindo patut diduga dana pembinaan juga dikorup, belum saling berebut kedudukan, berantem organisasi, mental tdk mau mundur meski prestasi anjlok, perhatian pemerintah yg rendah, ntah kenapalah nasib indo ini. nasib nasibbb

Lisong said...

Bung Pacroid... Cina mendulang emas di olimpiade beijing, loohhh...

JP said...

Sedih rasanya, melihat sepakbola kejuaraan Eropa (Euro), mal-mal, cafe dan para pemimpin daerah dan pemerintahan menggelar nonton bareng - padahal yang bertanding Spanyol vs Italia.

Bandingkan atlet kita yang memburu gelar juara dunia di cabang tinju, boro-boro nonton bareng. Saya jadi ingat pengalaman buruk saya sewaktu di kantor saya kesulitan nonton CJ vs Merdov (baca: http://www.boxing-indonesia.com/2011/11/chris-john-menang-angka-lagi.html)

Miris - miris....

jangankan tinju, yang baru mempersembahkan 5 juara dunia. Bulutangkis yang merupakan langganan juara dunia saja, tidak pernah digelar nonton bareng saat Thomas cup dll. Nggak heranlah sekarang prestasi bulutangkis memble.


Miris-miris - nasib anak tiri, ya.

Max_Muscle said...

Baru sadar jg saya sebuah event besar yg membawa nama bangsa di tingkat dunia spt piala Thomas tdk pernah dibuatkan acara nobar mungkin kalo yg menyelengarakan dari pihak swasta mereka msh dua kali berpikir karena yg diliat hanya dari sisi profit semata....jd ini memang benar2 dibuthkan kesadaran dari pemerintah melalui kepala propinsi,daerah maupun instansi masing2 utk menyadarkan & membuka hati masyarakat kita bahwa ada olahraga yg jauh lbh bisa diandalkan & diutamakan dibandingkan olah raga minim prestasi.....cara yg sangat mudah,murah tetapi sangat bermanfaat

Anonymous said...

Tinju dilain pihak mirip film, dinikmati masyarakat banyak tp tidak dilakukan. Untuk menjadi hit harus mengandalkan aktor(petinju), cerita (resume) dan buzz (dibicarakan orang). petinju paling terkenal kita (CJ) selalu mendapat cerita tak bagus.
Film the raid, awalnya tidak begitu dikenal, cerita biasa saja, tetapi setelah go internasional, dibicarakan orang, lalu menjadi hit di Indonesia.
CJ dan DY, (tentu dengan sutradara dan produser yang hebat) hanya perlu mempunyai resume bagus dan dibicarakan internasional, untuk menjadikan tinju laku di Indonesia.

JP said...

Di Panama, sewaktu Caballero menantag CJ, kabarnya ada nonton bareng di kota kelahiran Caballero.

Jangan tanya Pacquiao deh, pasti dimana-mana ada nonton bareng, baik oleh swasta maupun pejabat.

Anonymous said...

Saya masih ingat Bung JP harus bersusah payah mencari tempat untuk nonton CJ lawan Merdov, sampai akhirnya ketemu juga restoran yg rela TV-nya disetel acara lain yg bukan David Beckham vs timnas. Kalo gak salah restoran nasi ayam hainam Boon Chang Kee (kalo gak salah yah ?)

Felix

Boxing Indonesia: Who's Next. Boxing is Tinju in Indonesian.